Jumat, 06 Juli 2012

Dilemma berbahasa Inggris di tempat kerja

Pagi ini sehabis toolbox talk ada seorang bapak-bapak yang agak berumur mengajak berdiskusi. Beliau bercerita kalau sebelumnya di perusahaan yang lama (perusahaan EPC PMDN yang lumayan terkenal) beliau mempunyai posisi sebagai piping supervisor tetapi sekarang di perusahaan ini beliau bekerja sebagai pipe fitter.

Saya pun bertanya,”Kok bisa Pak? Kenapa nggak melamar untuk posisi yang sama?”. Beliau menjawab,”Saya nggak bisa bahasa Inggris Mas”. Dan Saya pun terdiam. Pembicaraan kami pun dilanjutkan dengan membahas berbagai masalah perpipaan seperti drawing, material sampai ke masalah etika kerja. Dan menurut pendapat Saya pribadi, sebenarnya Bapak ini memang punya kemampuan untuk jadi Piping Supervisor. Alangkah sayangnya.

Pengalaman yang sama pernah Saya alami sebelumnya di perusahaan yang lama. Saya punya satu orang rekan engineer yang secara kinerja dan kemampuan sebenarnya tidak kalah dengan anak buah saya yang expatriate. Tapi karena keterbatasan berbahasa tadi membuat dia kesulitan untuk lebih berkembang. Beberapa kali saya tawari job offer di tempat lain, dia selalu menolak dengan alasan bahasa tadi. Sampai yang terakhir sebelum saya keluar saya tawarkan untuk naik ke posisi management pun dia tidak berani untuk mengambilnya.

Masalah klasik ini memang seakan menjadi dilemma untuk kebanyakan orang. Ketidak mampuan berbahasa asing (baca: bahasa Inggris) membatasi kesempatan untuk berkarir ke jenjang lebih tinggi dan terkadang juga kesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih bagus. Beruntung bagi beberapa orang yang memang sengaja mempersiapkan diri untuk bekerja di lingkungan multinational.
Dalam dunia kerja bahasa memang penting karena salah satu hal yang paling dibutuhkan dalam bekerja adalah kemampuan untuk berkomunikasi. Contoh: ada seorang pekerja, ketika ditanya oleh atasannya tentang suatu masalah dia hanya terdiam, bukan karena tidak tahu permasalahannya ataupun solusinya tetapi lebih dikarenakan ketidakmampuan untuk mengungkapkan/mengkomunikasikan hal tersebut karena keterbatasan bahasa.
Peluang inilah yang disambut baik oleh pekerja-pekerja dari Negara lain (pinoy, bangla dst). Mereka tidak selalu lebih mampu ataupun pintar dari kita, tetapi mereka bisa berkomunikasi dengan lancar.
Pertanyaan yang sering timbul di benak saya adalah: kita bekerja di Indonesia, digaji dengan mata uang rupiah kenapa musti kita bekerja dengan bahasa formal menggunakan bahasa Inggris? Menurut pemikiran saya penyebabnya : 
  1. Karena mereka pemilik modal alias yang punya uang.
  2. Kelemahan regulasi dan aplikasinya di Negara kita. Coba kita seperti Jepang yang mewajibkan semua pekerja asingnya untuk mempelajari bahasa dan budaya mereka sebelum bekerja di Negara mereka.
Dengan kondisi diatas, (maaf) untuk saat ini kita belum bisa menjadi tuan di Negara sendiri. Kita masih hidup dalam penjajahan dengan wajah baru. Dan saya pribadi juga termasuk salah satu orang jajahan tersebut.  

Rabu, 04 Juli 2012

Bensin di Karimun 1 Liter = Rp. 20.000,-

Ini pengalaman pertama saya harus meninggalkan motor kesayangan di PT. Sebelumnya memang pernah motor saya tinggal di PT waktu di Batam, tapi itu karena tidak sengaja alias ketinggalan. Tetapi untuk kali ini, motor memang sengaja saya tinggal di parkiran perusahaan karena tak ada bensinnya. Hahahahahaha.

Karimun memang pulau yang relatif kecil bila dibandingkan Batam ataupun Bintan. Setahu saya di sini cuma ada 1 SPBU Pertamina dan 1 SPBU swasta yang sering disebut Kuda Laut (???). Jadi kalau di Karimun pemandangan kios-kios BBM mini bertebaran sepanjang jalan itu hal yang lumrah. Mungkin hampir tiap 50 meter kita bisa menemukan kios-kios BBM ini.

Kemarin pagi saya memang berangkat dengan "cadangan" bensin yang mepet di tanki motor. Harapan saya, nanti bisa beli bensin di salah satu kios BBM yang ada di sepanjang jalan waktu berangkat kerja. Berangkat seperti biasa, sepanjang jalan saya melihat semua kios-kios BBM tutup alias kehabisan bensin. Mulai dari Teluk Air hingga PN terus ke lokasi perusahaan di Pangke saya tidak menemukan satu pun kios yang menjual bensin.

Motor saya sekarat sebelum sampai di PT (sesuai prediksi) dan akhirnya persis di dekat bandara PN motor saya mulai ngadat. Motor tetap jalan meskipun dengan bensin campur (campur dorong maksudnya, hehehehe). Sampai di depan lapangan bola, ada satu kios yang melayani pembeli bensin. Hati dah bahagia, penderitaan bakalan terhenti. Ternyata bensin tadi adalah botol terakhir yang tersisa an sudah keduluan orang pula. Hahahahaha.

Dengan memasang muka memelas, saya sukses membujuk Ibu2 penjual bensin untuk menguras cadangan bensinnya. Betul-betul menguras karena drum bensin punya beliau ditunggingkan dan saya cuma mendapat bensin kira-kira 1 gelas. Cukup untuk sampe PT ini, pikir saya. Dan memang cukup tapi akibatnya saat pulang motor sudah tidak bisa dinyalain lagi.

Motor saya tinggal, pulangnya nebeng kawan. Nasib yang kita alami pun sama. Dari jalur Pangke-Meral-Balai tak ada satupun kios BBM yang buka. Beruntung bensin masih cukup sampai dirumah. Malam harinya saya berburu bensin (dengan jalan kaki tentunya). Dapat sebuah kios yang katanya punya stock bensin (atau dia nimbun ya??). Sampai di kios tersebut saya agak shock juga. Bensin dengan kemasan botol 1 Ltr yang biasanya dijual Rp. 5.000 dia jual dengan harga Rp. 20.000. Jadi berasa tinggal di Natuna atau Lamalera (hahahaha).

Entah kenapa di Karimun bisa kejadian seperti ini. Karena stock terlambat kah? atau premium dibatasi oleh pertamina? atau jangan-jangan ada oknum yang bermain? Apapun ceritanya, inilah kali pertama saya nggak bisa kemana-mana karena bensin nggak ada. Padahal katanya Karimun merupakan kawasan seigita emas BBK yang dijagokan untuk investasi asing. Tapi masalah klasik seperti langkanya BBM masih juga terjadi.

NB: ini kali kedua saya mengalami kelangkaan BBM di Karimun sejak pindah dari Batam 2 bulan lalu.

Update 05 Jul 12: Kemarin sore beli bensin botol kemasan 1.5 Ltr seharga Rp. 14.000,- Alhamdulillah sudah turun.