Share cerita dari seseorang yang sangat bagus, beberapa hari lalu diposting di Milis Migas Indonesia.
Bus maut sumber kencono, Karunia bakti dan sekelebatan
metro mini di hadapan saya yang lewat tanpa lampu rem mengingatkan pengalaman
beberapa tahun lalu ketika diri ini masih jadi pengusaha kelas pinggiran yang
penasaran mengapa sebuah Pick Up kecil saya yang di pergunakan sehari hari
untuk mengangkut benda ringan macam Styrofoam harus menjalani uji petik atau
KIR dengan biaya yang semestinya tertera Rp 48 ribu rupiah namun kenyataannya
supir saya selalu meminta uang sejumlah Rp 160 ribu untuk setiap enam bulan uji
KIR.
Dalam tiga semester uji KIR, menurut aturan, buku KIR
sudah harus diganti dan saya berkeinginan untuk mengurusnya sendiri tanpa
melibatkan supir. Bukannya tak percaya pada supir saya sendiri tapi keingin
tahuan kenaikan jumlah biaya hingga empat ratus persen itu dari mana asalnya.
Kamis pagi, Kantor uji KIR di Jagakarsa pukul Sembilan
lambat laun mulai diramaikan oleh beberapa kendaraan yang hendak menguji
kelayakan mereka. Saya membawa pick up biru yang saya gunakan sehari-hari untuk
usaha toko yang saya beli dari sebuah dealer dalam kondisi baru. Didepan jalan
gerbang masuk dua petugas dan satu berpakaian biasa menghampiri dan bertanya.
“ Mobil ini siapa yang bawa?” Tanya petugas berkumis
tebal.
“ Loh..memangnya saya nggak kelihatan, mobil ini kan saya
yang kendarai!” jawab saya polos sambil tersenyum.
“ Maksudnya mobil ini biasa KIR sama siapa, siapa yang
bawa, Nitipnya sama siapa?” si petugas menukas dengan nada meninggi.
“ Saya bilang saya manusia yang kelihatan, ini mobil saya
yang bawa, mau uji KIR,” jawab saya tenang.
“ Jadi mau urus sendiri?” Dia bertanya, saya mengangguk
yang diikuti dengan suara tertawa terbahak bahak , sambil dirinya meninggalkan
saya.
“Tunggu aja sampai seminggu pak, baru beres..,” Ia
membalik badan ketika beberapa langkah meninggalkan pick up saya, sambil terus
tertawa.
“ Nggak apa apa , sebulan saya juga tunggu kok , saya
lagi banyak waktu,”sahut saya padanya lalu saya lajukan mobil memasuki gerbang
dengan loket disisi kanan.
Untuk biaya masuk, tarif tiga ribu rupiah berubah menjadi
lima ribu rupiah sesuai permintaan petugas loket tanpa kembalian, It’s Ok lah,
mungkin yang di gardu butuh merokok atau kopi pagi.
Sampai di dalam urutan lajur pengujian KIR mobil saya
dihentikan dan kembali ditanyakan siapa yang akan membawa mobil. Dengan jawaban
persis sama dengan sewaktu diluar, dahi petugas ini berkernyit tak yakin,
kemudian bergegas ia menyambar buku KIR saya dan menyatakan bahwa buku KIR saya
harus diganti baru dengan jumlah biaya yang disebutkan olehnya sebesar delapan
puluh ribu rupiah dibayar dikantor setelah KIR.
Dibalik punggungnya saya membaca tulisan besar di dinding
ruang Uji petik “ BUKU KIR TIDAK DIPUNGUT BIAYA”. Suatu paradoks pertama di
pagi hari yang saya temui.
Ia menghilang dari hadapan saya dengan membawa buku KIR
yang sudah harus diganti baru. “ Nanti urus didalam pak!” itu kalimat
terakhirnya sebelum ia menghilang ke dalam kantor.
Lorong pengujian terhampar didepan saya hanya berisi satu
mobil , sebuah pick up hitam sejenis yang melaju hanya dalam hitungan
masing-masing di bawah dua menit dalam setiap perhentian. Diperhentian pertama
adalah tempat lampu-lampu serta berbagai atribut keselamatan kendaraan di uji
apakah berfungsi. Ada satu petugas berdiri di damping alat uji yang tanpa
melihat kekendaraan hanya mengisi formulir dan menanda tanganinya untuk
kemudian mempersilahkan pick up hitam di depan saya itu melaju ke pos uji
berikutnya untuk melanjutkan ke pos pengecekan ban, fungsi rem dan fungsi
mekanis lainnya. Kurang dari dua menit pick up itu kembali melaju dan mendapatkan
form bertanda tangan tanpa perlu menginjak apalagi menguji rem di pos tersebut.
Singkat, hemat waktu dan tak perlu antri panjang, sebuah efisiensi dalam tanda
Tanya.
Kendaraan saya diminta maju ke pos pertama dan disana
saya hentikan pick up saya dengan perlahan lalu menyalakan semua lampu mulai
dari lampu utama, sign,lampu kabin, lampu malam menginjak rem dan sebagainya
tanpa diminta. Tak sedetikpun wajah petugas menoleh ke pick up saya dan tak
lama ia menyodorkan lembar kertas berisi tanda tangan tanda lolos uji seraya
meminta uang lima belas ribu rupiah dan mempersilahkan jalan.
“ Untuk apa pak?” Tanya saya.
Ia terkejut lalu menarik kembali kertas tersebut.
“Memang harus begitu, bayar lima belas ribu!” tukasnya
“ Mobil saya belum di uji atau dilihat pak, kok saya
harus bayar?”
“ Sudah lolos, bayar saja..banyak yang nunggu!” ia
berusaha mempersingkat percakapan namun keukekuh menanti lembaran rupiah.
“Ok, ini saya bayar tapi mohon kuitansinya pak!” pinta
saya.
“ Nggak ada , mau anda apa sih?” tanyanya
“ Mau uji KIR!” “ Jadi mau ditest betulan?”
“ Ya iya, saya jauh datang kesini untuk pastikan mobil
saya di uji,” jawab saya.
“ Kalau nggak lulus tahu sendiri ya, di kasih yang
gampang malah cari susah!” jawaban aneh bagi saya ketika itu yang terucap dari
seorang petugas Negara yang bertanggung jawab memastikan kendaraan saya
membahayakan atau tidak untuk orang lain di jalan raya sana.
Ia berteriak ke beberapa orang di lajur berikutnya.
“ Hoooi,… ini orang mau di uji mobilnya, test yang
komplit jangan ada yang lewat!” Perintahnya pada beberapa orang yang semula
hanya duduk membaca Koran.
Satu persatu bagian mobil diperiksa oleh mereka, hanya
saja mungkin tak seteliti dealer resmi mobil yang sehari sebelumnya saya
kunjungi untuk memastikan semua fungsi kendaraan saya dalam kondisi yang prima.
Saya tak pernah melewatkan waktu pengecekan berkala ke bengkel resmi meski itu
hanya untuk sebuah Pick up untuk usaha.
Tak ada satupun kekurangan yang bisa mereka temukan
hingga si petugas pemegang kertas menghampiri saya dan tetap meminta uang untuk
menyatakan mobil saya lolos uji.
“ Saya bayar semua kan nanti di loket pak, disini
tertulis tidak ada pungutan apapun selama mobil di uji!” ucap saya.
Kertas dilempar ke dashboard dan mobil saya di tepuk
untuk lekas pergi, bagai mengusir seekor ayam ia bersungut sungut sambil
meneriakkan kepada petugas di pos setelahnya bahwa saya tak mau bayar dan minta
di uji.
Di pos kedua setali tiga uang, petugas tak berkeinginan
memeriksa mobil saya berikut rem dan lainnya. Selembar kertas berharga lima
belas ribu rupiah ia sodorkan untuk lolos dari posnya. Saya menggeleng, tak
sudi membayar kecuali di beri kuitansi.Ia naik pitam dan menendang ban mobil
saya untuk kemudian mengusir semau hatinya. Kertas dilemparkan ke belakang bak
mobil saya. Aneh! Saya pun melaju tak memperdulikannya karena tak ada perintah
untuk injak gas atau rem sebagai proses pengujian, dan ketika diujung lorong
saya diminta untuk turun dan memarkir kendaraan lalu menyerahkan kunci kepada
seseorang disana.
Saya diajak kedalam ruangan kecil dan diminta membayar
sejumlah delapan puluh ribu rupiah untuk sebuah buku baru yang akan dicetak.
Tak terbayang apakah mereka ini bisa membaca atau tidak karena di hampir semua
sudut terpampang tulisan bahwa perpanjangan buku KIR tidak dikenakan biaya.
Sebuah paradoks ke sekian kali yang saya temukan pagi itu.
Petugas loket marah bukan kepalang ketika saya meminta
kuitansi untuk pembayaran tersebut dan ia menghardik saya dengan tuduhan tidak
mau bekerja sama dan tidak menghormati institusi mereka disana. Ia menanyakan
instansi saya bekerja dan maunya apa. Saya hanya tersenyum dan menjawab bahwa
saya adalah pedagang biasa, pemilik asli pick up yang tengah diuji dan hanya
meminta kuitansi. “ Yang mana yang tidak saya hormati?” Tanya saya tegas dan
tak mampu dijawab olehnya. Bagai seorang tahanan saya digelandang ke kantor
kepala, di tatapi oleh beberapa pria gagah menyandang pangkat mirip taruna
tentara di bahu kiri dan kanan dalam ruang kantor. Buku KIR di geletakkan di
meja kepala kantor dan saya melihat disana dua pria yang juga gagah dengan
seragam asyik berbincang sambil merokok. Saya diminta menunggu diluar sampai
kemudian dihampiri oleh seorang wanita muda yang tengah hamil tua untuk
kemudian ia meminta saya membayar uang sejumlah delapan puluh ribu rupiah.
“Tanpa kuitansi, saya tidak akan membayar …. dengan
kuitansi ,satu jutapun akan saya bayar, lagi pula mobil saya tak diperiksa apa
apa!” tegas saya padanya.
Ia dengan perut yang bulat besar mundur dan meminta ijin
pada saya untuk menanyakan kepada kepala kantor untuk sebuah kuitansi. Sepuluh
menit kemudian ia kembali kehadapan saya dan berkata bahwa kuitansi akan
dibuatkan oleh kepala kantor.
“ Baik ,saya menunggu disini mbak,” ujar saya ramah.
Satu jam saya menunggu dan hanya menyaksikan dua orang
berbicara dengan rokok yang tiada henti. beberapa buku KIR mobil lain menyusul
kembali bertumpuk di atas buku KIR saya. Lelah menunggu tanpa kepastian saya
menghampiri si wanita hamil untuk bertanya tentang nasib buku KIR saya. dan ia
menjawab bahwa kepala kantor sedang sibuk.
Saya ketuk ruangan pak Kepala yang tak terkunci dan
memotong pembicaraan dua orang yang merokok tanpa henti sejak sejam yang lalu.
Lalu saya meminta untuk mereka memproses buku KIR saya. Mereka sedikit terkejut
dan segera mengambil buku KIR paling bawah. Sibuk untuk menunda memproses buku
KIR bukan alasan bagi saya karena satu jam setengah saya melihat mereka hanya
merokok dan berbicara. Buku diserahkan kepada staffnya yang hamil sambil
berbisik, ia berjalan didepan saya tanpa menoleh.Tak lama sang wanita hamil
menghampiri dan meminta saya untuk membayar berapa saja karena kuitansi tidak
bisa diberikan. Saya keluarkan uang lima puluh ribu rupiah dan menyodorkan
kepadanya.
“ Mbak yang baik , ini saya rela memberi pada mbak ,
untuk kesehatan bayi dalam kandungan mbak, silahkan dibelikan susu dan segala
makanan yang halal yang bisa mbak berikan padanya,nanti jika lahir karena saya
tidak ingin anak mbak memakan hal yang haram dalam proses semua ini. Saya
ikhlas untuk kebaikan anak dalam kandungan mbak…!” saya berkata pelan.
Ia menangis, saya panik dan tak menyangka reaksinya
demikian, beberapa staff menghampiri dan bertanya, hanya untungnya si wanita
hamil ini tak mengadu apapun pada mereka. Ia bergegas masuk keruang kepala dan
muncul lima menit kemudian sambil membawa buku KIR saya.
“ Bapak diminta menunggu di luar depan loket, pak kepala
bertanya bapak dari instansi mana..?” ia bertanya tanpa berani lama-lama
menatap wajah saya.
“ Saya hanya pengusaha kecil , yang perduli dengan usaha
saya dan juga peduli dengan korupsi yang merajalela !” jawab saya. Ia
mempersilahkan saya keluar dan menunggu didepan loket, sebelumnya saya tetap menyodorkan
uang selembar lima puluh ribu rupiah untuk anak dalam kandungannya, Meski
terpaksa ia menerima uang itu karena saya nyatakan ikhlas untuk memberinya,
bukan untuk proses mendapatkan buku KIR baru.
“Doakan anak saya yang baik ya pak!” ia meminta hal itu
ketika menerima uang dari saya.
Didepan loket diluar, hanya dalam hitungan dibawah
sepuluh menit nama saya dipanggil dan dengan baik mereka memberikan buku KIR
baru , kunci mobil dan mengarahkan saya untuk menuju pengecatan tanda KIR
sambil sebelumnya saya membayar biaya KIR sebesar empat puluh delapan ribu
rupiah, DENGAN KUITANSI. Kakek tua mendampingi saya untuk mengecat tanda KIR,
tangannya yang sudah gemetar menempelkan kertas sablon dan menghembuskan cat
semprot dari tangannya untuk memberikan tanda bahwa mobil saya “syah” telah
diuji KIR sampai enam bulan kedepan.
Uang lima puluh ribu rupiah kembali saya selipkan ke
dekapan tangannya dengan keikhlasan tanpa minta kuitansi.
“Untuk cucu ya pak!” ujar saya ketika menyerahkan
lembaran uang berwarna biru.
Ia senang bukan kepalang dan mengantar saya meninggalkan
gerbang fasilitas uji KIR Negara Jagakarsa. Uang dari kantong saya tetap keluar
sebesar seratus enam puluh ribu rupiah, bukan untuk proses KIR saja namun untuk
sedekah pada orang orang kecil yang tengah hamil dan renta yang terjebak dalam
gelapnya lorong proses pengujian kendaraan yang tak tahu fungsinya untuk apa.
Begitu keluar, saya disambut asap tebal sebuah kopaja yang
melintas di trayek depan kantor uji KIR dengan rem yang berderit derit
menjemput penumpang. Saya ngilu mendengar dan menatapnya, untuk Bis bukan di
Jagakarsa pengujiannya, konon di tempat lain di timur Jakarta, namun hasilnya
rasanya sama saja.
“Lorong gelap uji KIR”, Apakah itu penyebab ratusan orang
tak bersalah meregang nyawa dijalan-jalan negeri akhir-akhir ini ?, saya tak
mengerti karena saya hanya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana
proses pengujian yang saya alami dulu sekian tahun lamanya di tempat yang
mestinya menjaga keselamatan seluruh anak bangsa dari bahaya kendaraan yang tak
laik jalan.
Wogh, mantap bener ini. Memang aparat ini perlu dikerasi sekali waktu.
BalasHapusiya.. tapi jujur aja, kitanya juga sering mencari "jalan mudah", terpaksa deh praktik kkn nggak bisa ilang2..
Hapuswong saya sendiri juga dulu dapat SIM nembak.. :)